Penguasa Lantai Dansa
Kami meranjak ke lantai atas. Terdapat sekelompok muda-mudi berseragam serempak dan berdansa serentak saat lampu disko kerlap-kerlip menyala menggunakan enerji baterai A2. Hey tuan disko, apakah saya berada di Mars atau mereka yang mengundang orang Mars?
Sensasi The UPSTAIRS ke permukaan musik tanah air seolah menghadirkan dunia baru. Sejak album perdananya "Matraman" (2004) mereka berhasil membuat fenomena. Dengan tema seputar disko/dansa serta kostum yang nyentrik, dengan cepat mereka memikat generasi belia. Bahkan aksi panggungnya menjadi langganan di setiap pentas musik sekolah membuat ben ini sempat dijuluki "Raja Pensi".
Di tahun ini (2009) The Upstairs merilis rekaman baru "Magnet! Magnet!" setelah alpa 3 tahun dari album kedua "Energy" (2006). Walau sebelumnya sempat mengenyam dunia mayor, lewat album ini pula The Upstairs kembali ke jalur indie di bawah bendera MAGNET MUSIC.
Saatnya, lantai dansa dibentangkan, musik dilantangkan dan semua berdansa tak akan berhenti...
Wawancara dengan Jimi Multhazam (JM)
1) Sebenarnya apa yang ingin lu tawarkan bersama The Upstairs ini?
JM: Dunia baru, my friend.2) Akhirnya album ke-3 The Upstairs “Magnet! Magnet!” dirilis juga. Setau gw proses rekaman ini udah 2 tahun lalu kan?! Tapi kenapa baru produksi (akhir) Maret 2009? Kendala apa yang menghambat tersalurnya album ini? Apa karena masih ada keterikatan kontrak dengan label sebelumnya, makanya ditunda?
JM: Proses penggarapan lagu telah berjalan sejak album "Energy". Tapi sebenernya proses rekamannya hanya memakan waktu 4 bulan. Sisanya hanya kendala di luar kreatif aja yang kita hadapin.
3) Apa maksud album ini digelari “Magnet! Magnet!”?
JM: Magnet! Magnet! adalah tema album ini sekaligus efek yang ditimbulkan oleh album ini.
4) Lewat album ini juga The Upstairs ‘balik’ lagi ke jalur indiependen. (Padahal sekarang banyak lho band yang rela “melacur” untuk bisa tembus ke label Major, hiks!) Masalah apa yang memilih kalian “putus hubungan” dengan label major itu?
JM: Fungsi label buat kita adalah rekan untuk menyebarkan karya yang telah kita buat. Dalam hal ini album The Upstairs tentunya. Jadi apapun labelnya, tidak pernah mempengaruhi kita dalam membuat musik. Kalo ada yang sampai jadi pelacur, sepertinya bukan masalah kita juga. 5) Lu udah ngerasain gimana bernaung di bawah label industri (baca: major). Tapi dengan jalur lu sekarang, apa lu menggunakan strategi pasar yang sama?
JM: My friend, kalo sampe menjual karya kita, namanya otomatis industri. Sepertinya indie pun menjual cd juga khan? Kami gak pernah membedakan pasar ke dalam golongan-golongan tertentu.
6) Pada album terbaru, gw ngerasa unsur punk rock cukup kental di situ. Refrensi siapa aja yang mempengaruhi proses materi terbaru The Upstairs?
JM: Dari pertama kita membangun The Upstairs, Punk Rock adalah salah satu landasan kita berpijak. Nah, agar tidak monoton di tiap albumnya, kita membuat nuansa yang berbeda-beda. Penataan frekwensi bunyi kadang mengkecoh kuping orang awam. Gue rasa itu namanya kreatifitas.7) Dalam info milis “Magnet! Magnet!”, di situ menyatakan ingin menghadirkan “musik berkualitas”. Menurut lu, musik berkualitas itu seperti apa? Kalau pun kita hadapkan pada pasar, kita ngga pernah bisa menebak yang namanya pasar. Itulah kenapa industri di sini ngga peduli soal musik/lirik berkualitas ato ngga, yang penting gimana pasarnya bagus.
JM: Gue bingung nih pertanyaan lo yang mana? Hehehe... Sepertinya yang ada tanda tanyanya. Gue jawab musik yang berkualitas aja ya. Menurut gw musik berkualitas adalah musik yang mencerminkan karakter musisinya.
8) The Upstairs ngga cuma dikenal lewat musiknya, tapi juga soal fashion nyentrik yang kalian kenakan. Dan di album terbaru, kalian membuat uniform sendiri. Apa ini semacam trademark baru, gitu?
JM: Fashion adalah cara lain kita bersenang-senang saja. Pertama yang harus kalian dengar adalah musiknya. Lalu artworknya, nah di dalam artworknya itu ada beberapa sub bagian. Salah satunya adalah fashion.
9) Band lu juga sering disebut “Raja Pensi” -mungkin karena sering menjelajahi acara musik sekolahan. Apa emang anak sekolah itu target pendengar The Upstairs? Bahkan sampe digemari anak SD/kecil sekalipun. Tapi ada beban moral ‘ga pada “mereka”? Mengingat lu kadang suka sompral kalo di panggung, hehehe...
JM: Hahaha yoi tuh. Sompral gue khan juga ada meaningnya. Gak menyesatkan. Gue cuma menyuarakan apa yang mereka rasakan. Yang mereka rasakan kadangkala emang sompral. Tapi hal itu bukan buruk juga.
Itulah kehidupan my friend. Life is a bitch kalo kata John Lennon. Indonesianya Hidup itu Sompralll hahaha.
10) Kenapa launching “Magnet! Magnet!” lebih dulu digelar di Malaysia dibanding negara sendiri? Dari yang lu rasain, apa yang paling signifikan antara Indonesia dengan negara lainnya? Ada niatan untuk merambah ke negara lain?
JM: Pertama karena demand di sana memang besar. Kedua, ketika kita selesai pressing album, ada tawaran dari negeri jiran, jadi sikat bleh lah. Yang ketiga musik Indonesia itu sebenernya sangat mantaff (mantap-red) dan terdengar sampai ke negara lain. Merambah negara lain, kenapa tidak?
11) Sebagai absolut penulis lirik, buat lu seberapa penting lirik The Upstairs bagi pendengarnya? Gw ngerasa lu punya pesan di situ, walau dikemas dalam tata bahasa yang menarik. Dengan penyimak dominan anak sekolah, apa lu yakin isi lirik tersebut sampe ke pendengar?
JM: Buat gue lirik juga berperan dalam menciptakan nuansa sound sebuah lagu. Gilanya lagi. Lirik juga menjadi karakter sebuah band. Karena kebanyakan yang mendengar anak sekolah (pelajar) mereka gue rasa cukup cerdas untuk memahami lagu gue. Pesan pasti sampai. Bahkan memberkas.
____________________________________________________________________________________________
“Bayangkan kalo di sini ada rental audio CD. Bisa runtuh bisnis musik kita.”
__________________________________________
12) Gw melihat permusikan Indonesia selalu dijejali dengan selera & tema yang sama. Cuma gw ga terlalu komplain juga ke band yang ngumbar tema cinta yang gitu-gitu aja. Karena, mungkin ada tuntutan dari beberapa pihak atau mungkin itu orientasinya. Justru permasalahannya ketika para media berkompromi nge-gembar-gemborin "kemasan" itu. Gw tau elu juga orang media. Dalam hal ini, bisa 'ga gw bilang kalau “media-media itu” yang bertanggung jawab?
JM: Kalo gue pribadi punya filter sendiri. Mana yang harus gue denger, mana yang tidak. Semuanya cuma masalah pilihan. Gue pilih yang keren saja. Dan menurut gue musik Indonesia itu sangat ciamik.
13) Gw kadang berusaha menapik pernyataan-pernyataan sentimen terhadap band dengan kondisi materinya. Seperti banyak orang bilang: “Ah, band itu kan gede karena dia orang kaya. Jadi promosinya kenceng.”. Memang naïf sih nge-band tanpa promo. Dan semakin kuat promo-nya maka semakin mengindikasikan bobot materinya. Tapi buat gw, yang namanya musik bagus dengan sendirinya orang bakal hargain dan maju. Gimana pendapat lu?
JM: Setuju gw sama lo. Secara gw bukan anak orang kaya. Gue di-didik kerja keras sejak kecil. Gue dikondisikan untuk mendapatkan apa yang gue mau sendiri. Seperti banyak orang bilang: “Ah, band itu kan gede karena dia orang kaya.” Sebenernya pandangan ini adalah pandangan para pemalas. Gue berhasil mematahkan teori pemalas tersebut.
14) The Upstairs adalah band yang tergolong memiliki massa. Lu mengartikan “fans” itu seperti apa? Apa lu menganggap ini lahan komoditi juga?
JM: Gue menganggap mereka adalah audiens yang dapat mengapresiasi musik gue. Mencerna ide gue.
15) Kabarnya album “Magnet! Magnet!” ngga akan dirilis format kaset ya, kenapa? Apa masalah pembajakan?
Tapi yang berkaitan produk rekaman, namanya “penggandaan” kan ngga bisa dipungkiri. Bahkan band/musisi luar negri aja yang masih ngerilis piringan hitam tetep aja ada bajakan mp3-nya. Seberapa masalah pembajakan buat lu?
JM: Produksi kaset itu berbanding tipis dengan produksi CD. Maka dengan pertimbangan tersebut kami merilis dalam format CD saja. Pembajakan itu adalah masalah moral, bukan teknis. Gue sempet denger khabar dari kawan yang sempat ke Jepang. Di sana sampai ada bisnis rental audio CD. Tapi tidak ada budaya pembajakan di sana. Mereka menyewa untuk mendapatkan referensi mengenai CD yang akan mereka beli. Bayangkan kalo di sini ada rental audio CD. Bisa runtuh bisnis musik kita. Begitulah gambaran moral masyarakat di negara maju. Bagaimana dengan di sini? Gue rasa lo tau jawabannya.
16) Sejak album pertama sampe sekarang artwork kover The Upstairs selalu lu yang garap. Apa ini memang jatah lu?
JM: Kebetulan gue punya kemampuan dalam menggarap artwork dua dimensional. Tapi untuk masalah videography, Andre Idris memegang kendali sebagai sutradara, Alfi Chaniago sebagai editor. Semuanya memanfaatkan keahlian masing-masing. Bisa dibilang The Upstairs ini adalah sebentuk kecil kolektif seni.
17) Ok bro, terima kasih untuk jawabannya. Mungkin ada yang ingin ditambahkan?
JM: Belilah CD original. Jadilah bagian dari masyarakat yang berpikiran maju.
(Mei '09).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar